Sedingin Es dan Seputih Salju
Diam tanpa kata dan membisu bagai batu. Kata itulah yang pantas
untuk melukiskan buruknya watak dan tabiatku. Suatu kebiasaan buruk yang akupun
tak tau pasti dari mana dan dari siapa
aku mewarisinya. Suatu perangai buruk yang amat sangat aku benci, namun
kerap kali tak dapat aku hindari. Hal itu bukan karena aku adalah tipe wanita
yang degil dan keras kepala. Semua itu karena
ketidakmampuanku untuk memendam rasa dan menyeimbangkan antara suasana
hati dan realita. Namun apalah dayaku untuk berbuat sesuatu dan menepis asa
yang kadang tak menentu?. Aku merasa ada yang menguasai hati dan pikiranku kala
itu. Walaupun kadang akal sehatku memberontak, namun alam bawah sadarku terus
berusaha membawaku semakin terlena dalam suasana yang sedingin es itu.
Sungguh sulit memang, ketika kita dihadapkan dengan suatu
permasalahan yang tak dapat kita selesaikan. Walaupun pepatah mengatakan bahwa
“setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya”, namun aku tak begitu yakin
dengan permasalahan yang kian kali datang mengahampiri dan membelenggu hati dan
fikiranku. Aku merasa, bagiku musuh dan
permasalahan terbesarku ialah berasal dari diriku sendiri.
Aku adalah tipe wanita yang yang cenderung memendam rasa dan akan
diam dengan sendirinya ketika akal dan suasana hati tak sejalan dengan fakta.
Ketika aku merasa kecewa akan sesuatu, aku akan diam membisu. Begitu pula
ketika aku marah, aku justru memilih diam seribu bahasa. Bahkan ketika rasa
tidak nyaman menghampiri, akupun akan melakukan hal yang sama.
Awalnya Aku fikir itu adalah jalan pintas dan alternative terbaik
jika dibandingkan dengan mengumbar amarah dan kata-kata kasar yang tidak
bermakna. Namun ternyata, aku salah menduga. Diam bukanlah solusi yang tepat
untuk menyelesaikan masalah. Hal itu justru akan memperkeruh suasana dan
melukai hati orang-orang yang kucinta, Terutama Zaky.
Zaky adalah sosok pria yang mampu membuat hatiku meleleh bak lilin
yang terbakar cahaya api. Dia mampu membuatku jatuh cinta dan rela melakukan
apapun yang kubisa demi kebahagiaannya. Bahkan aku lebih mencintai dan
menyayanginya lebih dari diriku sendiri. Namun, aku kerap kali membuatnya
terluka dan memporak-porandakan singgasana kedamaian hatinya dengan sikap diamku byang tak bisa kubendung
itu.
Hari itu, bukanlah kali pertama aku dan Zaky bersiteru karena hal
dan permasalahan yang sama.Tak lain dan tiada bukan yaitu karena sikap diamku.
“Kamu kenapa, Sofia?”. Tanya Zaky dengan raut wajah yang terlihat
aneh.
“Aku tidak apa-apa, Zaky”. Jawabku spontan.
“Dengar Sofia, aku tidak akan bertanya seperti itu jika memang
tidak ada apa-apa denganmu”. Zaky makin
penasaran dan mulai kesal terhadapku.
“Aku sungguh tak apa-apa, Zaky. Kumohon percayalah padaku!”.
Serlahku.
“Aku sudah lama mengenalmu, Sofia. Lagipula ini bukanlah kali
pertama kita terjebak dalam situasi yang seperti ini. Bahkan ekspresi dan raut
mukamu pun tak mampu menutupi dan
membohongiku. Bukankah sering kukatakan padamu kalau aku sangat tidak suka
dengan sikap diammu. Tapi mengapa kau masih saja menunjukannya dan tidak
menghiraukan kata-kataku itu? Kumohon bicaralah padaku, Sofia!”. Zaky semakin
berapi-api membujukku untuk bicara.
“Berapa kali juga aku harus mengatakan, kalau aku tidak apa-apa?
Adapun dengan sikap diamku, bukankah aku sering bilang padamu kalau itu adalah
bagian dari kekuranganku? Kenapa Zaky, kenapa kau masih saja tidak bisa
menerima kekuranganku?”. Tandasku dengan nada sayu.
“Aku tahu itu merupakan bagian dari kekuranganmu, Sofia. Tapi
bukankah kau sering bilang, kalau kamu mau berusaha untuk merubahnya, Sofia”.
Zaky memcoba untuk mendapatkan alasanku.
“Kau tak tau, Zaky. Betapa berat aku berusaha dan terus terbebani
dengan sikap diamku itu. Kadang aku berfikir untuk lelah berusaha dan pasrah
saja dengan tabiatku, karena pada akhirnya aku tetap saja terbuai dalam
perangkapnya. Tapi aku tidak akan semudah itu menyerah, Zaky. Aku akan berusaha
sekuat dan sebisaku. Namun jika pada akhirnya aku kalah dalam pertempuran
dan tak mampu lagi berusaha, aku yakin
bahwa pasti ada sosok pria yang mampu menerimaku apa adanya dan menerima segala
kekuranganku, dan itu tak terkecuali denganmu, Zaky”. Jelasku.
“Bukannya aku tak bisa terima kekuranganmu, Sofia. Hanya saja aku
sangat yakin kalau kamu pasti bisa mengontrol dan merubah sikap burukmu. Aku
tak mau terima kekuranganmu sebelum kamu mencoba berusaha untuk merubahnya
menjadi lebih baik. Percayalah padaku, Sofia. Kamu pasti bisa, semangat!!!.”.
Zaky terus meyakinkanku.
“Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku, Zaky. Selama akal ini
masih bisa berfikir dan hati ini masih bisa merasa, aku akan mencobanya, Zaky”.
Kubalas kepercayaan Zaky dengan suatu asa yang pasti.
“Oh iya, Sofia. Lantas apa yang harus aku lakukan jika kamu tengah
dibelenggu virus diammu itu, Sofia?”. Zaky sejurus bertanya padaku.
“Apa ya???? Aku juga bingung, Zaky. Oh Ya, kamu juga boleh berbalik
mendiamkanku ketika aku tengah diam”. Aku coba mengeluarkan kebijakanku.
“Apakah kamu yakin, Sofia? Aku yakin kamu juga akan merasa kesal
jika seseorang tengah mendiamkanmu. Jadi aku tidak mau berbalik mendiamkanmu,
karena aku rasa itu tidak akan menyelesaikan masalah”. Zaky seolah meragukan
kebijakanku.
“Lantas, opsi apa yang akan kau sarankan, Zaky?”. Aku balik
bertanya.
“Gimana kalau aku akan menggodamu dengan semangkuk bakso ketika
kamu tengah dilanda diam, Sofia?”. Tukas Zaky sembari menggodaku.
Aku sungguh terkejut mendengar opsi dari Zaky. Aku seolah tak percaya dengan apa yang
baru saja dia katakan. Tapi di sisi lain aku merasa sangat senang. Anganku
tiba-tiba melayang jauh, membayangkan semangkuk bakso yang tengah asyik
menggodaku seraya melambai-lambaikan tangannya. Sememangnya bakso adalah
makanan favoritku, dan Zaky sangat tahu pasti kalau aku sangat menyukainya.
“Asyik...!!!!! Kamu serius kan dengan opsi yang kau tawarkan itu,
Zaky? Sorakku spontan.
“Iya, Sofia. Aku sangat yakin dan serius. Gimana, kamu senang kan,
Sofia?”. Tandas Zaky.
“Aku sangat dan teramat senang, Zaky. Makasih ya atas idemu yang
brilian itu. Kamu memang paling mengerti aku hehe”. Aku berbalik menggoda Zaky.
“Iya dong, aku kan memang cowok idaman setiap wanita. Jadi kamu
harus bersyukur bisa dekat dan intim dengan pria keren sepertiku”. Zaky pun tak
mau kalah dengan candaanku.
Kala itu kamipun tertawa riang bersama dan sejak saat itu, aku tak
mampu lagi berlama-laman terjebak dalam suasana hati yang membeku. Bagaimana
tidak, jika tanpa sadar aku tiba-tiba terdiam, maka Zaky akan sejurus
menggodaku dengan rayuan semangkuk baksonya itu dan tanpa membuang banyak masa,
akupun langsung tertawa geli meresponnya.
0 Comments