A.
Latar Belakang
Dalam masa pra Islam, diplomasi
hanya terbatas pada bidang yang sangat terbatas dan dianggap tanpa pertimbangan
etis. Sumbangan Islam dalam diplomasi adalah memberikan bentuk yang
komprehensif dengan memperluas ruang lingkup diplomasi dan penggabungannya
dengan etika dan moral, sehingga meletakkan dasar bagi cara-cara diplomasi
diplomasi. Perjanjian (treaty) telah menjadi instrumen
yang paling penting dalam diplomasi dan Hubungan Internasional, baik di masa
lampau maupun di masa sekarang ini. Para Ulama klasik memfokuskan pada
aspek-aspek tertentu dari suatu perjanjian, khususnya mengenai pemenuhan
kontrak dan konsekuensi dari tindakan pengkhianatan dan pelanggaran. Dalam
sejarah Islam, terdapat sebuah perjanjian pertama dan disebut-sebut sebagai
sumber otoritatif yang menjadi ‘role model’ bagi perjanjian
internasional antara Muslim dan non-Muslim, yaitu Perjanjian Hudaibiyah.
Sebelum terjadinya Perjanjian Hudaibiyah ini, Kaum Musyrikin Mekah bersama-
sama dengan Kaum Yahudi Khaibar, dan suku- suku lain di sekitar Arab yang masih
musyrik menyerang Madinah, Ini dikenal dengan peristiwa Perang Ahzab atau
Perang Khandaq.
Korespondensi
adalah penyampaian maksud melalui surat dari satu pihak kepada pihak lain dapat
atas nama jabatan dalam suatu perusahaan/organisasi dan dapat atas nama
perseorangan (individu). Kegiatan saling berkirim surat oleh perseorangan atau
oleh organisasi disebut surat menyurat atau korespondensi. Pihak yang terlibat
disebut koresponden. Salah satu kekebalan
seorang diplomatik adalah mendaptkan korespodensi diplomatik yaitu kekebalan
dalam surat menyurat, arsip, dokumen. Hal ini korespodensi tidak jauh dari
surat menyurat dalam melakukan hubungan internasional dengan perwakilan
negara-negara. Tujuan diadakannya Perwakilan Diplomatik: Memelihara
kepentingan negaranya di negara penerima, sehingga jika terjadi sesuatu urusan,
perwakilan tersebut dapat mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikannya.
Melindungi warga negara sendiri yang bertempat tinggal di negara penerima.
Menerima pengaduan-pengaduan untuk diteruskan kepada pemerintah negara
penerima.
B.
Korespodensi Internasional
Korespondensi adalah penyampaian maksud melalui surat dari satu pihak
kepada pihak lain dapat atas nama jabatan dalam suatu perusahaan/organisasi dan
dapat atas nama perseorangan (individu). Kegiatan saling berkirim surat oleh
perseorangan atau oleh organisasi disebut surat menyurat atau korespondensi.
Pihak yang terlibat disebut koresponden. Korespondensi memang tidak terlepas
dari surat. Surat sendiri merupakan alat komunikasi tertulis untuk menyampaikan
pesan kepada pihak lain, yang memiliki beberapa ciri umum, seperti penggunaan
kode dua notasi (lampiran dan perihal), penggunaan kertas, penggunaan model dan
bentuk, serta pemakaian bahasa yang khas dan pencantuman tanda tangan.
Sedangkan hak
korespondensi diplomatik merupakan kekebalan
yang mencakup surat-menyurat, arsip, dokumen, dan termasuk kantor diplomatik.
Arsip-arsip, surat-surat, ataupun telegram dalam kantor diplomatik tidak boleh
dibuka oleh polisi ataupun hakim. Warga negara yang mencari perlindungan di
gedung perwakilan diplomatik tidak dapat
ditangkap begitu saja, melainkan harus melalui perundingan dengan kepala
perwakilan setempat. Kecuali pelaku kejahatan yang memang harus diserahkan pada
polisisetempat. Diplomasi
merupakan sebuah praktek pelaksanaan hubungan antar negara yang melalui
perwakilan resmi, yang mencakup seluruh proses hubungan luar negeri,
pembentukan kebijaksanaan luar negeri, serta pelaksanaannya.
Diplomasi yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad dengan dengan orang-orang Yahudi dan Kristen dari Semenanjung Arab
(misalnya, di Najran dan’Aqabah) dapat dilihat dari berbagai contoh perjanjian,
dan pengiriman utusan ke penguasa Abyssinia, Byzantium, Mesir, dan Persia yang
dianggap sebagai bukti awal praktek diplomatik Islam. Terlepas dari asumsi
bahwa jihad melawan kafir merupakan sebuah kewajiban yang tak henti-hentinya,
Perjanjian Hudaibiyah tersebut, telah menjadi prototipe dari gencatan senjata
(meskipun bukan perdamaian abadi) antara kombatan. Setelah preseden ini,
khalifah Umayyah kelima,’Abd al-Malik menandatangani gencatan senjata dengan
penguasa Bizantium dan bahkan membayar upeti kepada Al-Malik untuk kepentingan
mengamankan satu sayap untuk berbalik melawan pemberontak Muslim. Atau dalam
pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, pada masa dinasti Abbasiyah, beliau
secara rutin membuat perjanjian dengan orang asing untuk sejumlah alasan,
khususnya, untuk menebus tawanan perang mereka. Khalifah Harun menerima duta
dari Charlemagne dan mengirim satu kembali ke Aix-la-Chapelle. Bahkan selama
Perang Salib, ada beberapa perjanjian formal dengan pangeran Kristen, seperti
perjanjian pada tahun 1192 antara Saladin dan Raja Inggris Richard I, yang
memfasilitasi ziarah kaum Kristen ke Tanah Suci.
Selain itu, salah satu kontribusi
besar Syiar (Hukum Internasional Islam) terhadap hukum internasional modern
adalah pembentukan imunitas diplomatik. Dapat dikatakan bahwa dalam Syariah
tradisional, diplomat menikmati kekebalan tidak berbeda dengan yang diatur
dalam hukum internasional modern. Kaum Muslim sangat menghormati kekebalan
utusan dan misi diplomatik. Non-Muslim diizinkan untuk memasuki dar al Islam
tanpa gangguan sebagai utusan resmi, asalkan mereka menyatakan bahwa mereka
membawa pesan diplomatik. Aturan kekebalan diplomatik kembali ke zaman Nabi
Muhammad SAW ketika dua utusan musuh islam, Musailamah, yang merupakan Nabi
palsu datang berkunjung, Nabi Muhammad SAW tidak pernah menyakiti dan membunuh
utusan diplomatik tersebut. Duta besar, termasuk anggota delegasi mereka,
menikmati kekebalan pribadi penuh dan memiliki kebebasan penuh untuk
menjalankan agama dan ritual mereka. Hal tersebut mengindikasikan bahwa inviolability
dari seorang diplomat, merupakan bagian dari Hukum Adat
Internasional. Hal tersebut membuktikan bahwa Islam telah memberikan pengaruh
yang besar atas perkembangan mengenai diplomasi.
Melihat fakta-fakta yang ada, bahwa Nabi Muhammad telah membuat
berbagai perjanjian dengan negara lain, termasuk musuhnya sendiri, menunjukan
bahwa Islam sudah mengenal mengenai hukum dan perjanjian internasional dan
mengenali prinsip-prinsip dasar dan fundamental dalam suatu perjanjian. Kembali
pada perjanjian Hudaibiyah, yang dimana para sahabat kecewa akan tindakan Nabi
Muhammad SAW yang menandatangani perjanjian tersebut yang dipandang lebih
menguntungkan Mekkah dibandingkan Madinah. Namun, Nabi Muhammad tetap memenuhi
dan menaati perjanjian tersebut, yang pada akhirnya, akibat kecerdasan
politiknya Sang Nabi, justru Madinah memiliki power yang lebih besar karena
adanya Perjanjian Hudaibiyah tersebut. Dari hal tersebut, kita dapat pula
menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad pun telah mengenal asas dalam perjanjian
internasional, yang pada masa modern ini disebut sebagai Pacta
Sunt Servanda yang merupakan sebuah aturan umum hukum Internasional
yang menyatakan bahwa perjanjian bersifat mengikat dan harus dilaksanakan,
dimana asas ini merupakan prinsip hukum yang telah menjadi basis untuk
mengukuhkan ikatan perjanjian yang mengikat negara penandatangannya. hukum dan
perjanjian Internasional pada era kontemporer ini, termasuk salah satunya
meletakkan dasar bagi cara-cara dan prinsip-prinsip dalam berdiplomasi. C. Asal Korespodensi Diplomat dalam islam
Keberadaan diplomat suatu negara di negara sahabat sering kali mendapat kekebalan hukum dalam beberapa hal. Minimal para duta negara itu mendapat hak, antara lain, berupa keamanan atas dirinya, kekayaan, rumah, atau kantornya. Mengutip Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern karya John L Esposito, aturan lazim kekebalan diplomatik dikodifikasi secara otoritatif oleh Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (1961) dan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler (1963) yang diratifikasi oleh sebagian besar negara. Kekebalan diplomatik di abad modern ini memiliki akar sejarah yang kuat pula dalam praktik historis dan teori hukum Islam.
Para ahli fikih di abad pertengahan menegaskan bahwa perlindungan yang diberikan kepada para duta bersandar pada prinsip maslahat (kesejahteraan umum) dan hadis Nabi SAW. Seperti yang disebutkan berbagai riwayat, Rasulullah mengutus dan menerima sejumlah duta serta melarang keras mengganggu mereka. Dalam tradisi Islam, duta tersebut kerap disebut dengan rasul atau safir yang berarti utusan. Duta ini mengemban sejumlah fungsi dan tugas, antara lain, perundingan perjanjian, menghadiri acara pernobatan, atau menebus tawanan.Menurut Hukum Islam, duta yang diutus suatu negara ke wilayah Islam secara otomatis mendapat surat jalan tanpa pemberian status aman secara khusus. Jiwa dan hartanya dijamin keamanannya. Duta juga bebas dari membayar pajak sepanjang tidak berbisnis.
Ketentuan duta ini semasa Dinasti Umayah (661-750 M) tetap terpelihara.
Mereka mengutus dan menerima duta. Praktik itu kian masif dan intensif
sepanjang pemerintahan dinasti yang datang berikutnya, seperti Dinasti Abasiyah
(749-1258 M), Dinasti Fathimiyah (909-1171 M), dan Dinasti Mamluk (1254-1517).
Tak sedikit delegasi duta yang dikirim ke Eropa, Asia Tengah, dan Asia Timur. Pada
abad ke-16, terjadi peningkatan pengiriman duta secara drastis. Ini menyusul
meningkatnya frekuensi perdagangan. Sebagian besar duta dikirim secara temporer
dengan tujuan khusus. Pada akhir abad ini pula, beberapa negara Eropa
menempatkan duta di wilayah Turki Usmani dan pemerintahan monarki ini
sebaliknya, pada abad 18 menempatkan duta tetap di sejumlah negara Eropa. Pada
abad itu pula, dunia Islam menyaksikan awal rezim kapitulasi. Ini merupakan
perjanjian komersial yang memberi warga Barat kekebalan tertentu dari
yurisdiksi kriminal dan sipil di negara tempat ia berada. Kekebalan yang lebih
luas dibandingkan dengan Konvensi Wina itu kerap dianggap memalukan oleh
negara-negara Muslim. Pada 1940-an kapitulasi dihapuskan. Namun, pada 1960-an
sebagian besar negara Muslim menyetujui Konvensi Wina. Tetapi, isi persetujuan
itu bukan tanpa catatan. Pasalnya, hukum Islam tidak sepenuhnya sesuai dengan
Konvensi Wina tersebut. Misalnya, sesuai dengan hukum Islam diplomat
bertanggung jawab atas kejahatan dan kesalahan yang dilakukan di negara tempat
ia berada. Sedangkan, Konvensi Wina tidak menyatakan demikian.
D. Korespodensi dalam Surat
Korespondensi memang tidak terlepas dari surat. Surat sendiri merupakan
alat komunikasi tertulis untuk menyampaikan pesan kepada pihak lain, yang
memiliki beberapa ciri umum, seperti penggunaan kode dua notasi (lampiran dan
perihal), penggunaan kertas, penggunaan model dan bentuk, serta pemakaian
bahasa yang khas dan pencantuman tanda tangan.
surat memiliki ciri-ciri:
a. Pesan yang tertulis
c. Surat
memiliki bagian-bagian standar (kop atau kepala surat, pembuka, inti, penutup).
d. Surat
memiliki bentuk yang standar.
e. Surat hanya
memiliki satu pesan inti.
f. Gaya bahasa
surat bisa formal atau informal, tergantung pesan dan tujuan surat.
Surat adalah
alat komunikasi tertulis untuk menyampaikan pesan kepada pihak lain, yang
memiliki persyaratan khusus yaitu penggunaan kode 2 notasi (lampiran dan
perihal), penggunaan kertas, penggunaan model dan bentuk, pemakaian bahasa yang
khas serta pencantuman tanda tangan. Surat sendiri memiliki banyak fungsi. Di
antaranya, sebagai penyampai pesan, sebagai wakil, sebagai bukti tertulis,
sebagai pedoman atau dasar bertindak, sebagai alat untuk mengingat, sebagai
dokumen historis dari suatu kegiatan, hingga sebagai keterangan keamanan.Meski
saat ini perkembangan teknologi semakin pesat sehingga komunikasi lebih banyak
digunakan melalui jalur digital, namun keberadaan surat tetap dianggap penting.
Surat terutama digunakan untuk keperluan-keperluan yang bersifat formal, di
antaranya mengurus dokumen hingga mengurus pernyataan dan perjanjian. Kegiatan
korespondensi ialah kegiatan surat menyurat dari mulai mengonsep surat,
mengetik surat, baik dengan mesin manual maupun elektrik atau komputer,
memeriksa dan mengoreksi surat, menyiapkan sampai pada proses pengiriman yang
sudah ditanda tangani oleh yang bersangkutan, menggandakan, serta menyimpan
surat tersebut.
Bagian Korespodensi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Komunikasi
Eksternal: korespondensi dengan pihak luar negara seperti antar negara
2. Komunikasi
Internal: korespondensi yang dilakukan dalam negeri , misalnya antar pemimpin
dengan bawahannya.
Untuk melaksanakan korespondensi dengan baik, peran
seorang sekretaris sangat penting. Seorang sekretaris harus mempunyai
keterampilan-keterampilan sebagai berikut:
a. Menerima dan
mencatat dikte
b. Membuat
konsep surat
c. Mengetik
surat
d. Mengoreksi
surat
e. Memproses
penandatanganan surat
Hak kekebalan perwakilan diplomatik meliputi:
1.
Kekebalan terhadap
pribadi pejabat diplomatik (hak imunitas)
2.
Kekebalan terhadap
kantor perwakilan dan rumah kediaman (daerah
ekstrateritorial). Bila ada penjahat atau pencari suaka masuk ke dalam
kedutaan maka dapat diserahkan atas permintaan pemerintah kaena para diplomat tidak
memiliki hak asylum, yaitu hak untuk memberi kesempatan kepada suatu negara
dalam memberikan perlindungan kepada warga negara asing yang melarikan diri.
3.
Korespondensi
diplomatik, yaitu kekebalan terhadap surat-menyurat, arsip, dokumen termasuk
kantor dplomatik dan sebagainya (kebal dari pemeriksaan isinya).
Salah satu kekebalan seorang diplomatik adalah mendaptkan korespodensi
diplomatik yaitu kekebalan dalam surat menyurat, arsip, dokumen. Hal ini
korespodensi tidak jauh dari surat menyurat dalam melakukan hubungan
internasional dengan perwakilan negara-negara.
Kesimpulan:
Korespondensi adalah penyampaian maksud melalui surat
dari satu pihak kepada pihak lain dapat atas nama jabatan dalam suatu
perusahaan/organisasi dan dapat atas nama perseorangan (individu). Hak
korespondensi diplomatik merupakan kekebalan yang
mencakup surat-menyurat, arsip, dokumen, dan termasuk kantor diplomatik.
Arsip-arsip, surat-surat, ataupun telegram dalam kantor diplomatik tidak boleh
dibuka oleh polisi ataupun hakim. Warga negara yang mencari perlindungan di
gedung perwakilan diplomatik tidak dapat ditangkap
begitu saja, melainkan harus melalui perundingan dengan kepala perwakilan
setempat.
Hak kekebalan
perwakilan diplomatik meliputi:
1. Kekebalan terhadap pribadi pejabat diplomatik (hak imunitas)
2. Kekebalan terhadap kantor perwakilan dan rumah kediaman (daerah ekstrateritorial).
Bila ada penjahat atau pencari suaka masuk ke dalam kedutaan maka dapat
diserahkan atas permintaan pemerintah kaena para diplomat tidak memiliki hak asylum,
yaitu hak untuk memberi kesempatan kepada suatu negara dalam memberikan
perlindungan kepada warga negara asing yang melarikan diri.
3. Korespondensi diplomatik, yaitu kekebalan terhadap surat-menyurat, arsip,
dokumen termasuk kantor dplomatik dan sebagainya (kebal dari pemeriksaan
isinya).
0 Comments